“Cung, Pa Ha Nazak!”
kata Tata saat aku akan berangkat ke kantor. Dia baru saja menerima telpon dari
Lik Yatik yang merawat Pak Ha. Sudah ada Lik Sri di samping Pak Ha yang sedang
membacakan Surat Yasin.
Seingatku, dua
minggu yang lalu kondisinya memang sudah tak bagus. Tubuhnya ringkih, kurus dan
kulitnya sangat hitam. Waktu kusentuh, badannya memang tinggal tulang belulang.
“Semoga cepat
sembuh,” batinku.
Hanya itu doa yang
bisa kupanjatkan. Apa upaya yang bisa
aku lakukan? Tak ada. Pak Ha sudah memilih jalannya sebagai seorang pengembara
yang bebas. Bebas dari kekangan istri, bebas dari aturan-2 rumah tangga dan
bebas segala-galanya.
Di dalam mobil, tiba-tiba
saja aku teringat Pak Ha.
Betapa dia itu orang
baik, yang mengabdikan dirinya pada keluarga. Dia perhatian pada adik-adiknya
kala ayahnya sedang hobi berpoligami. Pak Ha ada mendampingi nenekku
membesarkan anak-anaknya.
Allah pasti melihat
ini semua sebagai kebajikan dalam hidupnya. Pukul 07.20 Tata menelponku,”Cung, Pak Ha
sudah meninggal”
Innalilahi wa
inalilahi rojiun.
Ternyata bayanganku
sekilas tentang Pak Ha tadi adalah saat-saat beliau melepas nyawanya. Butir-butir air mata secara otomatis mengalir
di sudut-sudut mataku. “Selamat jalan menuju kebebasan yang hakiki, Pak Ha ...”
Pukul 09. 10 aku
pamit Kepala Bagianku akan takziah ke Malang.
Ibu dan Bambang, kakak tertuaku aku suruh siap-siap berangkat. Kuambil
uang Rp 1.000.000,00 untuk kuberikan pada Lik Yatik.
Aku berencana menanggung semua biaya pemakaman
Pak Ha.
Pukul setengah dua
siang, kami baru sampai ke rumah duka. Tak ada tanda-tanda bekas acara kematian
di kampung. Semua terlihat seperti biasanya. Bahkan tanda bendera duka saja
juga tak ada.
Benar-benar kampung
yang aneh.
Ternyata jenazah
sudah diberangkatkan usai sholat dhuhur tadi. Tradisi di kampung memang begini,
memberangkatkan mayat secepat mungkin agar tidak menimbulkan fitnah.
Di depan rumah,
kulihat ada Mbak Kasis, Pak Jum, Lik Yatik, Lik Kati dan Mbak Ribut. Kami
saling berpelukan dan cium pipi kiri dan kanan. Tak ada airmata yang menetes
lagi. Kami ikhlas Pak Ha meninggalkan
kami semua. Mungkin inilah jalan yang terbaik buat beliau.
Aku memutuskan untuk
pergi ke makam.
Kuajak Lik Kati dan
Mbak Ribut saja karena mobilnya memang hanya cukup untuk berlima saja. Di pemakaman masih terlihat penggali kubur
merapikan makam Pak Ha. Letaknya berjajar dengan makam Mbah Kasmir, kakekku.
Ibu langsung
bersimpuh di depan makam Pak Ha dan memanjatkan doa.
Sementara itu, Kak Bams
mencari juru kunci pemakaman dan menanyakan biaya pemakaman Pak Ha. Nyatanya biaya
pemakaman ‘hanya’ Rp 500.000,00 saja, bukan satu juta seperti yang kuperkirakan.
Kuberikan tips buat 2
orang penggali kubur masing-2 Rp 50.000,00.
Dari pemakaman,
kuputuskan menuju Singosari, rumahku. Sebelumnya mampir dulu di warung rawon
langgananku. Ternyata tutup. Alhasil kami mencari makan di warung dalam pasar. Ssst,
kami memang sedang tak berpuasa hari ini.
Usai makan, kami langsung
meluncur ke rumahku.
Lik Kati langsung
bebersih rumahku. Masih ada sisa-sisa
rumput liar yang berserakan di depan dan di belakang rumah. Itu sisa-sisa aku, ibu dan Tata bebersih
kemarin. Memang belum sempat aku bakar sampahnya karena menunggu warga sebelah
pulang kampung. Biar asapnya tidak mengganggu mereka.
Pukul 19.30 kami
balik ke rumah pak Jum. Masih tak terlihat ada kegiatan apapun di rumah. Aku
langsung minta Lik Kati memijat punggungku yang pegal-pegal. Ibu juga ikut
pijat sesudahku.
Lalu kami bercanda-2
sampe jam 21.30 WIB.
Aku pamit pulang ke
Singosari. Rencanaku akan balik ke Surabaya esok hari saja. Kalau malam hari,
mataku akan terasa sangat lelah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar