Translate

Jumat, 01 Juni 2018

PAK HA MENINGGAL DUNIA




“Cung, Pa Ha Nazak!” kata Tata saat aku akan berangkat ke kantor. Dia baru saja menerima telpon dari Lik Yatik yang merawat Pak Ha. Sudah ada Lik Sri di samping Pak Ha yang sedang membacakan Surat Yasin.

Seingatku, dua minggu yang lalu kondisinya memang sudah tak bagus. Tubuhnya ringkih, kurus dan kulitnya sangat hitam. Waktu kusentuh, badannya memang tinggal tulang belulang.

“Semoga cepat sembuh,” batinku. 

Hanya itu doa yang bisa kupanjatkan.  Apa upaya yang bisa aku lakukan? Tak ada. Pak Ha sudah memilih jalannya sebagai seorang pengembara yang bebas. Bebas dari kekangan istri, bebas dari aturan-2 rumah tangga dan bebas segala-galanya.


Di dalam mobil, tiba-tiba saja aku teringat Pak Ha.


Betapa dia itu orang baik, yang mengabdikan dirinya pada keluarga. Dia perhatian pada adik-adiknya kala ayahnya sedang hobi berpoligami. Pak Ha ada mendampingi nenekku membesarkan anak-anaknya.

Allah pasti melihat ini semua sebagai kebajikan dalam hidupnya.  Pukul 07.20 Tata menelponku,”Cung, Pak Ha sudah meninggal”

Innalilahi wa inalilahi rojiun.

Ternyata bayanganku sekilas tentang Pak Ha tadi adalah saat-saat beliau melepas nyawanya.  Butir-butir air mata secara otomatis mengalir di sudut-sudut mataku. “Selamat jalan menuju kebebasan yang hakiki, Pak Ha ...”

Pukul 09. 10 aku pamit Kepala Bagianku akan takziah ke Malang.  Ibu dan Bambang, kakak tertuaku aku suruh siap-siap berangkat. Kuambil uang Rp 1.000.000,00 untuk kuberikan pada Lik Yatik.

Aku  berencana menanggung semua biaya pemakaman Pak Ha.

Pukul setengah dua siang, kami baru sampai ke rumah duka. Tak ada tanda-tanda bekas acara kematian di kampung. Semua terlihat seperti biasanya. Bahkan tanda bendera duka saja juga tak ada.

Benar-benar kampung yang aneh.

Ternyata jenazah sudah diberangkatkan usai sholat dhuhur tadi. Tradisi di kampung memang begini, memberangkatkan mayat secepat mungkin agar tidak menimbulkan fitnah.

Di depan rumah, kulihat ada Mbak Kasis, Pak Jum, Lik Yatik, Lik Kati dan Mbak Ribut. Kami saling berpelukan dan cium pipi kiri dan kanan. Tak ada airmata yang menetes lagi.  Kami ikhlas Pak Ha meninggalkan kami semua. Mungkin inilah jalan yang terbaik buat beliau.

Aku memutuskan untuk pergi ke makam.

Kuajak Lik Kati dan Mbak Ribut saja karena mobilnya memang hanya cukup untuk berlima saja.  Di pemakaman masih terlihat penggali kubur merapikan makam Pak Ha. Letaknya berjajar dengan makam Mbah Kasmir, kakekku.

Ibu langsung bersimpuh di depan makam Pak Ha dan memanjatkan doa.

Sementara itu, Kak Bams mencari juru kunci pemakaman dan menanyakan biaya pemakaman Pak Ha. Nyatanya biaya pemakaman ‘hanya’ Rp 500.000,00 saja, bukan satu juta seperti yang kuperkirakan.

Kuberikan tips buat 2 orang penggali kubur masing-2 Rp 50.000,00.

Dari pemakaman, kuputuskan menuju Singosari, rumahku. Sebelumnya mampir dulu di warung rawon langgananku. Ternyata tutup. Alhasil kami mencari makan di warung dalam pasar. Ssst, kami memang sedang tak berpuasa hari ini.

Usai makan, kami langsung meluncur ke rumahku.

Lik Kati langsung bebersih rumahku.  Masih ada sisa-sisa rumput liar yang berserakan di depan dan di belakang rumah.  Itu sisa-sisa aku, ibu dan Tata bebersih kemarin. Memang belum sempat aku bakar sampahnya karena menunggu warga sebelah pulang kampung. Biar asapnya tidak mengganggu mereka.

Pukul 19.30 kami balik ke rumah pak Jum. Masih tak terlihat ada kegiatan apapun di rumah. Aku langsung minta Lik Kati memijat punggungku yang pegal-pegal. Ibu juga ikut pijat sesudahku.

Lalu kami bercanda-2 sampe jam 21.30 WIB.

Aku pamit pulang ke Singosari. Rencanaku akan balik ke Surabaya esok hari saja. Kalau malam hari, mataku akan terasa sangat lelah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar