Lik
Yatik menelponku malam ini.
“Cung,
kata Lik Kati kamu bayar 500 ribu ke tukang maKam ya? Duit opo maneh iku?”
katanya dengan nada sedikit emosional.
“Lho,
aku nggak bayar ke tukang makam kog,” kataku menjelaskan.
“Yo
wes coba ngomong sama Pak Jum,” katanya kemudian.
Lik Yatik ini memang
telinganya agak budek, jadi kadang susah berkomunikasi lewat hape. Apalagi
kalau sinyalnya sedang buruk. Ngomong A bisa diartikan ngomong B. Susah
jadinya, kan!
Lalu
aku cerita ke Pak Jum, bahwa aku hanya minta penjelasan dari tukang makam biaya
pemakaman Pak Ha. Tukang Makam, Pak Adi bilang kalau biaya seluruhnya sebesar Rp 500.000,00. Bahkan pak adi memberi
kwitansi yang menyatakan bahwa telah menerima uang pemakaman sebesar Rp
500.000,00.
Berdasarkan
itu, malamnya kuberikan uang sebesar 500
ribu kepada Pak Jum dengan maksud untuk
membayarkan uang itu kepada tetangga yang dihutanginya. Aku memang berjanji membayar seluruh biaya
pemakaman Pak Ha mengingat beliau adalah sebatang kara. Di ujung hidupnya, Pak
Ha memang hidup sendiri. Tak ada anak tak ada istri. Istrinya sudah meninggal beberapa tahun yang
lalu. Sementara itu, anak tirinya tak mau mengurusnya lagi.
Dan
Pak Jum mulai berargumentasi bahwa dia mengeluarkan biaya 1 juta untuk
pemakaman Pak Ha. Itu dipakai unTuk biaya pemakaman, beli kayu telisik, batu
nisan dan pengurusan surat-surat keterangan kematian.
Usut
punya usut, ternyata pemakaman Pak Ha diserahkan kepada salah satu warga di
situ yang biasa mengurus kematian warga. Bisa dibilang, itu adalah makelar.
Boleh-boleh
saja jadi makelar, tapi makelar kematian? Waduh! Kalau yang dimakelari ini orang kaya, tak
menjadi masalah. Tapi ini kan kematian orang miskin. Aku menyalahkan Pak Jum
yang ‘sok sugih” dengan menyuruh makelar kematian mengurus pemakaman Pak
Ha. Kalau biaya dari dia, tak masalah.
Lha kalau dibebankan ke aku, jelas aku
merasa sangat keberatan.
Kakakku
Bams malah bilang kalau alasan dia minta kwitansi ke Tukang Makam, karena sudah
curiga dengan perilaku Pak Jum yang curang. Dia curiga, Pak Jum curang saat
menjual rumah keluarga besar kami yang ada di Malang. Uang pejualan sebesar 90
juta hanya diserahkan pada keluarga kami sebesar 60 juta rupiah saja.
Baiklah,
aku tak mau memperpanjang masalah ini.
Yang
jelas, aku tak mau mengeluarkan uang lagi pada Pak Jum. Toh uang-uang duka
semua masuk ke Lik Yatik, istrinya.
Seharusnya uang itu digunakan untuk biaya pemakaman Pak Ha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar