Translate

Minggu, 08 Juli 2018

RAPAT-RAPAT



Sore ini nggak kemana-mana. Aku bersiap diri untuk menghadiri undangan rapat Pak RT. Kebetulan, kemarin belum sempat berhalal-bihalal dengan beliau.

Jam 4 sore aku sudah dandan rapi dan wangi. Tapi kog tidak ada satupun undangan yang hadir? Hingga jam 5 sore, tidak juga ada undangan yang hadir.

Watcha!

Ternyata undangannya jam 7 malam, usai sholat Isya. Yang aku baca kemarin undangan untuk para ibu-ibu. Ya Tuhan, bodoh kog yo nggak mari-mari.

Sambil menunggu waktu rapat tiba, aku lewatkan dengan berbincang-bincang sama emak. Seperti biasa, yang emak keluhkan adalah perilaku kakak lelakiku yang sepertinya mula bingung dengan keluarganya.

Aku hanya mendengarkan keluhan beliau saja, biar agak lega dadanya ada yang mendengarkan ceritanya. Lagian, kalau dipikir itu semua adalah kesalahan kakakku sendiri.

Aku menilai sebagai kepala keluarga dia telah gagal. Kalau anak-anaknya berani sama ayahnya, pasti ayahnya dulu terlalu memanjakannya. Kalau istri sudah mulai melawan, berarti ada pola pembinaan yang salah selaku suami.

Itu saja sih pendapatku tentang permasalahan rumah tangga kakakku.

*

Jam setengah tujuh, aku sudah hadir dan berbasa-basi dengan Pak RT. Anak dan keponakannya yang sudah gede-gede turut bergabung dalam pertemuan ini.

Sebelum ada yang datang, berbincanglah aku dengan anak dan keponakan Pak RT. Mereka cerita tentang keangkeran rumah mereka.  Ada beberapa gangguan mistis yang dialami oleh keluarga ini. 

Aku bilang bahwa  di komplek perumahan ini memang terbilang angker dan banyak hantu-hantu bergentayangan. Tetapi kita harus yakin bahwa derajat manusia lebih tinggi dari para jin itu. Jadi tak perlu ada yang ditakuti.

Pembicaraan terhenti, bapak-bapak undangan sudah mulai berdatangan.  Acara rapat dimulai. Intinya penunjukan pada beberapa jabatan di RT yang kosong. Aku tak luput ditunjuk sebagai salah satu pengurus 1.  Sayangnya, pasanganku bukanlah orang yang aku harapkan.

Aku merasa tak bisa bersinergi dengannya terkait masa lalunya.  

Tapi ya sudahlah, aku berjanji akan melaksanakan kepercayaan yang telah diberikan sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan dan junjung tinggi.

Sudah jam setengah sepuluh malam, dan acara santai diisi oleh Pak Dade yang berbagi ilmunya tentang manfaat senam peregangan tubuh setelah bangun tidur.

Aku pamit pulang mendahului karena  mataku sudah mengantuk. Disamping itu, penjelasan Pak Dade terlalu bertele-tele. Niatnya memang mau sharing tapi terkesan malah menyombongkan diri.

Lha masak sharing tentang senam kog malah cerita tentang beliau yang sudah berkali-kali naik haji? Ini mah joko sembung. Nggak nyambung, kali!

Sabtu, 07 Juli 2018

KESOMBONGAN






Sering aku heran dengan perilaku orang-orang yang (sudah) punya anak. Kadang mereka bersikap lebay dengan memerkan kepintaran anaknya. Suka pamer dengan cerita bahwa anaknya rangking  ke inilah ke itulah.

Kuingat ada beberapa teman kantorku yang begitu.

Buat orang lain, sah-sah saja sih berperilaku begitu. Tapi tidak buatku. Bukannya ngiri karena nggak punya anak, tapi soal kepandaian anak, soal kecerdasan seseorang bukanlah hal yang pantas untuk dibanggakan.

Yang kuingat, Mbak Eni dan Mas bambang adalah orang yang suka membanggakan kepintaran anak-anaknya.  Aku hanya mendengarkan saja, sambil turut mengaminkan atas berkah Allah itu.

Tapi hari ini, aku melihat ada kekecewaan di raut wajah mereka saat aku bertanya, anak mereka masuk di kampus mana? Unair, ITS atau Unesa?

“Iya, anakku nggak masuk di kampus negeri?” kata mbak Eni.
“Lho kan anaknya pinter dan ranking satu terus?”

“Lha iku ... salah pilih jurusan, mungkin”

Hmm ... julid tingkat tinggi. Padahal setahuku, anaknya tidaklah pintar-pintar amat. Pintar Ngeyel, iya. Hahaha.  Sekarang, ibunya baru sadar bahwa kepintaran itu tak usahlah dibangga-banggakan. Kepintaran itu hanya perlu dibuktikan.

Salah satu pembuktiannya adalah bisa masuk di kampus negeri. Karena apa? karena saingannya sudah ribuan orang. Jadi  bisa masuk di kampus negeri adalah tolok ukur kepintaran anak.

Mas Bambang juga begitu.  Waktu kutemui, dia cerita bahwa anaknya masuk di kampus swasta dengan harga yang selangit. Hahaha. Kenapa kali ini aku tidak mendengar cerita tentang kepandaian anaknya?



Kamis, 05 Juli 2018

FU*K MASSAGER






Siang itu aku pergi ke salah satu mall untuk pijat badan.  Badanku terasa sakit semua, pegel-pegel begitu. Dan salah satu ritual yang cocok untuk menghilangkan rasa pegal itu adalah pijat.

Setelah dipijat, biasanya aku sambung dengan terapi bekam, satu terapi yang katanya bisa membuang darah-darah kotor di tubuh kita. Percaya atau tidak, terapi ini memang bisa meredakan pegal, letih dan lesuku.  

FYI, aku tidak punya langganan tetap tempat pijat.  Yang penting tempat pijatnya sedang kosong dan ada tukang pijatnya standby, pasti langsung aku booking. Aku paling malas kalau harus menunggu lama karena tukang pijatnya belum datang.

“Pijat sini saja, pak” teriak salah satu terapis saat aku mau masuk ke tempat pijat yang kelihatannya sepi.

“Ada tukang pijatnya?”
“Saya sendiri, pak”

“OK. Aku mau pijat seluruh badan plus bekam basah”
“Bisa … bisa pak. Silakan masuk”

Aku segera masuk ke dalam bilik kecil tempat kita akan dipijat. Kulepas baju dan celanaku, hanya menyisakan sarung tipis saja.  Sang terapis menyiapkan peralatan pijatnya.

“Aku punya diabetes, ko …” kataku menjelaskan.
“Lho. Aku tes kadar gulanya dulu ya pak”

“Boleh”

Lalu sang terapis memeriksa kadar gula darah, kolesterol dan asam uratku. Nilai gula darah dan kolesterolku sedang tinggi.  Tidak layak untuk dilakukan bekam basah, begitu menurut sang terapis.

Aku mengiyakan saja pendapatnya ini. Secara menurut sang terapis, dia ini sudah melanglang buana mengobati pasien dengan penyakit diabetes, darah tinggi hingga stroke.

Tapi aku sedikit ‘curiga’ dengan caranya memeriksa kadar gulaku. Harusnya kan diambil darahnya cukup sekali saja. Nggak perlu sampai berulang-ulang begitu. Tanganku perih, tahu!

Singkat cerita, usai memijat punggungku dia melakukan bekam kering. Ada alat baru disini, semacam sinar infra red yang terasa hangat di permukaan kulitku kala sang terapis mengarahkan alat itu ke kulitku.

“Kalau terapi di saya, agak mahal lho pak …” katanya menjelaskan.
“Iya …” kataku mengiyakan saja. Bagiku yang penting penyakitku hilang, soal duit nomor sekian.

Giliran membayar, aku agak kaget.

“Total 325 ribu, pak”

Ya Tuhan, mahal amat. Padahal jelas-2 di brosurnya dia mematok 150 ribu untuk terapi kesehatan. Dan bekam kering hanya 80 ribu.

Beruntungnya, aku masih membawa uang 500 ribu. Coba seandainya aku cuma membawa uang pas. Bisa-bisa aku ninggal hutang pada sang terapis.
Waktu  aku tanya untuk biaya apa saja itu, sang terapis menjelaskan untuk biaya periksa darah –gula, kolesterol dan asam urat- yang berkali-kali itu.

Watcha!

Menurutku itu sungguh sebuah perbuatan yang mubazir. Mana ada check darah kog diambil kanan dan kiri.

Alhasil, daripada ribut aku tetap membayar biaya perawatan kali ini dengan hati yang setengah tidak ikhlas. Aku merasa dicurangi. Tapi aku bisa apa?

Yang jelas, aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku di tempat sang terapis ini lagi.

FUCK MASSAGER.


#MASSAGER
#TERAPI
#DIABETES
#MASUKANGIN
#PEGELLINU
 

Rabu, 04 Juli 2018

RABU, 04 JULI 2018






Pagi ini pertama kali aku masuk kerja setelah ‘cuti’ sakit selama  seminggu kemarin. Di kantor sudah ada Pak Mul yang sedang mengetik laporan lyn. Dia segera berdiri dan menyapaku,”Hai, mas. Sudah sehat?”

Hah, basa-basi yang menyebalkan. “Baik. Alhamdulillah,” balasku sambil menjabat tangannya.

Lalu ada Mas Rahmad yang juga mengucapkan selamat kepadaku. Lalu Pak Muji dan Pak Ikin. Aku sedikit tersanjung dengan sambutan mereka. Tapi entah kenapa, aku mencium bau julid di sini. Mereka tak benar-benar tulus.

Ya Tuhan, aku tersiksa dengan rasa ini.  Tak seharusnya aku berpikir terlalu sensitif seperti ini. Mereka tak bisa datang menjengukku ke rumah karena sibuk. Itu saja alasan yang bisa dimengerti.

Mbak Tutik datang ke kantor dan menyalamiku,”Gimana Om, sudah enakan?”

“Alhamdulillah, sudah mbak,” balasku.  Buaku pribadi, mbak Tutik adalah teman yang sangat baik. Dia sempat menjengukku  di awal-awal aku sakit kemarin. Hari ini dia memberiku 2 buah pisang kukus untuk sarapanku.

Lalu aku menerima telpon dari Mbak Amar. Dia menanyakan kabarku. Aku bilang baik-baik saja. Sudah enak kondisiku. Lalu dia cerita pengalaman buruknya saat menjalani perawatan di rumah sakit di Madura.

“Lha wong aku ini sudah 10 kali diare, kog nggak ditangani sama sekali sama dokternya. Diinfus kek apa dikasih kamar, gitu …” katanya menggerutu.

Mbak Amar memang jatuh sakit hampir bersamaan dengan waktu aku sakit kemarin. Tapi dia cukup 2 hari saja di rawat di rumah sakit di instansiku. Alhamdulillah, sekarang sudah sembuh.

*

Ada sekotas paket roti dati Pak Ikin. Katanya ini selamatan atas diterimanya putrinya di kampus negeri. Alhamdulillah.

“Masuk di mana, Pak?”
“Di Kampus Islam, pak”

“Syukurlah. Selamat ya …”
“Tapi anakku maunya kuliah di kampus negeri lain. Bukan yang ini”

WADUH.

“Ya dituruti saja apa maunya anak to pak”
“Mahal, pak kalau di kampus negeri itu”

HAH.

“Pak … jangan pernah bilang ke anak kalau sampean berat  menyekolahkan dia. Itu menyakitkan pak”

“Memang mahal pak”

“Semahal apa? Sampean duitnya banyak, bisnisnya mengalir, masak mengeluh buat nyekolahin anak? Plis, jangan. Kalau mu tahu, bapakku itu cuma tamtama, ibuku tidak bekerja. Tapi 4 anaknya kuliah semua, pak. Nggak tahu duit darimana, yang jelas semua tamat dan tidak pernah ada satu keluhanpun dari bapakku tentang mahalnya sekolah kami”

“Hmm …”

“Sampeyan nggak mau kan, anak sampeyan mutung sekolah. Atau nggak mau meneruskan sekolahnya lagi. Buat apa harta sampeyan, pak? Kalau nggak buat anak. Itu inventasimu, pak”

Pak Ikin nyengir.

Dan aku tetiba mengingat betapa bapak dan ibuku adalah seorang pejuang tangguh. Di tengah-2 keterbtasan sumber ekonomi, mereka masih bersemangat untuk meneruskan sekolah anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.

**

Sang boss memanggilku.
Aku menghadap ke dalam ruangannya.

“Gimana kondisinya, pak?”
“Alhamdulillah, baik”

“Maaf saya belum sempat menjenguk”
“Tidak apa, bapak. Mohon doanya saja”

“Tapi hape jangan dimatikan. Kan saya nggak bisa koordinasi”
“Iya. Maaf, jari saya kesemutan kalau pegang hape. Kayak disengat listrik,” kataku beralasan.

“Wah. kalau gitu latihan nyentuh listrik aja …” katanya bercanda.

Aku nyengir kuda.
Sungguh candaan yang tidak lucu.
Basi.
Garing.

“Mohon maaf, kami kembali ke ruangan”
“Get well soon, pak”
“Makasih”

Roaaaarrrrrrr.

Entah kenapa aku tak bisa marah sama bapak satu ini. Padahal sebenarnya aku jengkel sekali padanya. Bisa jadi karena aku menyadari bahwa aku ini hanya seorang bawahan, yang tugasnya menyokong kegiatan bapak buah.

SHIT!