Translate

Jumat, 31 Agustus 2018

AKU DROP



Pagi itu usai kencing di kamar mandi, aku tiba-tiba saja pingsan.

Aku tersadar saat suara ibu memanggil-manggil namaku. Badanku lemas tak bertenaga. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku. Ibu memanggil tata dan segera membantuku memapah ke tempat tidur.

Aku istirahatkan tubuhku sambil mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi padaku.  Aku masih tetap tidak ingat. Yang kuingat hanya usai kencing itu saja. Setelahnya aku benar-benar tak sadarkan diri.

Karena keringat dingin terus mengalir, aku minta agar Tata mengantarku ke rumah sakit di instansiku. Aku tak mau berobat lagi di rumah sakit terdekat seperti yang kemarin karena rumah sakit itu sudah  komersial. Jatahku yang kelas 1 dibilang tidak ada, dan aku harus membayar beberapa ratus ribu rupiah untuk menempati kelas di atasnya.

Fuck banget kan itu namanya.

Tata segera pesan grab dan membawaku ke rumah sakit. Kira-kira butuh waktu 1 jam menuju ke ruang UGD. Segera ditangani dan dinyatakan bahwa gula darahku mencapai 465.

What the fuck.

Aku ingat, dua minggu kemarin aku tidak minum obat gula darahku. Aku juga  sembrono minum yang manis-manis. Bahkan beberapa kali aku minum sirup di acara mantenan anak teman kantor.

Tapi yang bikin aku sangat drop sebenarnya adalah kemarahanku yang terpendam. Kemarin aku sangat marah dengan orang-orang (atasan) di kantor yang memintaku menangani pekerjaan di luar tugasku.

Padahal itu tugas remeh temeh yang semestinya bisa dilakukan oleh orang-orang kantor mereka. Lha terus kenapa aku yang ditunjuk?  Tapi pekerjaan itu tetap aku lakukan meski dengan berat hati.  Yang bikin dongkol, usai melaksanakan pekerjaan itu dan sudah kembali ke kantor, aku di suruh ke tempat itu lagi dengan alasan ada ibu pejabat yang akan melihat acara gladinya.

Goblok banget kan itu namanya!!!

Dan aku semakin yakin bahwa rasa marah yang terpendam bisa mengakibatkan gula darah meningkat tajam. Ya Tuhan …

Setelah di cek darah dan pemeriksaan lainnya, aku dinyatakan harus  rawat inap.  Selama dua malam tiga hari aku terbaring menjalani  pengobatan.

Alhamdulillahnya, pasien di kanan kiriku bukanlah pasien yang resek. Mereka tahu bagaimana tinggal di rumah sakit yang baik dan benar. Tak ada keributan atau kegaduhan seperti yang kualami saat ada di rumah sakit beberapa waktu yang lalu.

Di hari kedua, beberapa teman kantor datang membezukku. Yang memprakarsai jelas mbak Tut dan kawan-kawan.  Kuceritakan betapa sakitnya saat aku dipasang kateter. Fuck. Bener-bener perlakuan medis yang sangat menyakitkan.

Kebayangkan, bagaimana selang yang berukuran besar itu ditanamkan ke dalam urat penisku yang hanya sak iprit? Sakitnya sudah tak bisa aku ceritakan. Aku tak mau mengingat lagi peristiwa kesakitan saat proses pemasangan kateter ini.

Hari ketiga, aku sudah boleh pulang dengan catatan harus kontrol rutin ke poli penyakit dalam. Aku berjanji akan terus menjaga kesehatan tubuhku sendiri. kalau bukan aku, siapa lagi yang akan menjaga tubuhku?

Rabu, 15 Agustus 2018

SESAL



Dear Diary …

04.15 WIB 

Entah kekuatan apa yang membuat aku  sanggup mandi dengan air dingin hari ini.  Sudah hampir sebulan ini  aku selalu mandi dengan air hangat.  Kuguyur badanku tanpa terkecuali. Kusapukan sabun pada sekujur tubuhku. Berharap semua dosa-dosa ikut rontok bersama luruhnya busa-busa di tubuhku yang seksi.

Haaa … sepertinya aku sedang berhalusinasi berat.

Mana ada sih kulit aki-aki yang seksi? Hmm … aku sepertinya harus sadar diri. Kulitku tentu saja tidak sebagus, sekencang dan sekenyal kulit  pemuda-pemuda berumur  20 tahunan seperti yang terpampang di media-media sosial itu.

Astaghfirullah hal adzim …

04.20.

Aku  tiba di masjid dekat rumah.  Sudah ada sekitar 50 atau 60 orang di dalam masjid. Masya Allah. Begitu banyak orang yang antusias beribadah. Kuamati, rata-rata sudah 60 tahun ke atas. Para lelaki seusia bapakku.

Beberapa diantaranya aku kenal sebagai mantan Komandanku yang dulu terkenal sebagai lelaki yang tampan, kharismatik, tegas dan berwibawa. Sekarang aku hanya melihatnya sebagai lelaki tua yang lemah, lelah dan pasrah.  Tak ada lagi gurat-gurat semangat di raut wajahnya. Mungkin saja dia berharap segera dipanggil oleh Allah SWT.  Namun apa daya kematian yang indah belum juga bersedia menjemputnya.

Di sudut kanan masjid, kulihat lelaki tua yang duduk di kursi. Dua kakinya tertekuk. Kaku. Mungkin dia pernah kena stroke.  Sepertinya dia memang sudah tak bisa berdiri ataupun  bersujud saat melakukan sholat. Namun aku salut dengan tekadnya untuk tetap beribadah di masjid. Itu tentu sebuah usaha yang teramat keras.

Iqamat dikumandangkan.

Aku segera berdiri dan melakukan ibadah Subuh.   Shaf-shaf sudah dirapatkan.  Tapi aku tak sanggup membaca doa-doa.  Bahkan satu suratpun tidak bisa aku lafalkan.  Pikiranku buntu.  Aku sadar ini bukan shalat yang sebenarnya, karena saat shalat seharusnya kita hanya berpikir tentang Allah. Harusnya hanya ada aku dan Allah.

Jadi, aku hanya bisa menangis.

Aku menangis dan terus menangis tanpa suara.  Berharap air mataku yang jatuh menjadi bukti penyesalan  atas segala kesalahan dan dosa-dosa yang telah kulakukan.  Astaghfirullah. Hamba-MU ini sungguh penuh dengan dosa.

Tuhan, ternyata aku hanya bisa menangis.
Berharap tangisku Engkau dengar.
Berharap tangisku sanggup mengantarkanku ke Surga.
Sungguh Nista.

Sabtu, 04 Agustus 2018

TATA SAKIT



Sabtu, 04 Agustus 2018.


Pagi ini Tata mengeluh sakit.  Kepalanya pusing, berkeringat dingin dan muntah-muntah.  Emak aku suru manggil tenaga medis di depan rumah, sebagai pertolongan pertama.

Setelah diperiksa, ternyata tensinya tinggi, 150-90.  Padahal biasanya tak pernah tensinya setinggi itu. Aku menduga dia ini kena vertigo. Beberapa tahun yang lalu aku juga pernah mengalami hal yang sama. Penyebabnya karena banyak pikiran, jadi waktu tidur menjadi terganggu.

Setelah disuntik, Tata sudah bisa tidur. Namun masih juga muntah-muntah dan badannya terasa dingin. Napasnya juga sudah tersengal-sengal. Aku tak meu mengambil resiko. Segera kubopong dan kubawa ke rumah sakit terdekat.

Di kamar UGD, Tata langsung ditangani oleh tenaga medis. Tensinya sudah mencapai 160-90. Waduh … kalau dibiarkan, bisa kena stroke dia.

Setelah ditangani dokter, disuntik obat mual dan obat penenang, alhamdulillah, pusingnya berkurang. Badannya sudah tak merasakan dingin lagi. Dokter menyarankan agar Tata kontrol rutin tensinya.

Sekitar jam 09.30 WIB, kami sudah diperbolehkan pulang.

Ini hikmah buat kami semua, bahwa sakit itu datangnya bisa tiba-tiba. Tata yang kuakui tak pernah sakit, kalau sakit malah seperti mau mati rasanya. Kami berucap syukur atas karunia Allah, sehingga kami masih diberi kesempatan untuk menikmati indahnya hidup di dunia.