Translate

Rabu, 04 Juli 2018

RABU, 04 JULI 2018






Pagi ini pertama kali aku masuk kerja setelah ‘cuti’ sakit selama  seminggu kemarin. Di kantor sudah ada Pak Mul yang sedang mengetik laporan lyn. Dia segera berdiri dan menyapaku,”Hai, mas. Sudah sehat?”

Hah, basa-basi yang menyebalkan. “Baik. Alhamdulillah,” balasku sambil menjabat tangannya.

Lalu ada Mas Rahmad yang juga mengucapkan selamat kepadaku. Lalu Pak Muji dan Pak Ikin. Aku sedikit tersanjung dengan sambutan mereka. Tapi entah kenapa, aku mencium bau julid di sini. Mereka tak benar-benar tulus.

Ya Tuhan, aku tersiksa dengan rasa ini.  Tak seharusnya aku berpikir terlalu sensitif seperti ini. Mereka tak bisa datang menjengukku ke rumah karena sibuk. Itu saja alasan yang bisa dimengerti.

Mbak Tutik datang ke kantor dan menyalamiku,”Gimana Om, sudah enakan?”

“Alhamdulillah, sudah mbak,” balasku.  Buaku pribadi, mbak Tutik adalah teman yang sangat baik. Dia sempat menjengukku  di awal-awal aku sakit kemarin. Hari ini dia memberiku 2 buah pisang kukus untuk sarapanku.

Lalu aku menerima telpon dari Mbak Amar. Dia menanyakan kabarku. Aku bilang baik-baik saja. Sudah enak kondisiku. Lalu dia cerita pengalaman buruknya saat menjalani perawatan di rumah sakit di Madura.

“Lha wong aku ini sudah 10 kali diare, kog nggak ditangani sama sekali sama dokternya. Diinfus kek apa dikasih kamar, gitu …” katanya menggerutu.

Mbak Amar memang jatuh sakit hampir bersamaan dengan waktu aku sakit kemarin. Tapi dia cukup 2 hari saja di rawat di rumah sakit di instansiku. Alhamdulillah, sekarang sudah sembuh.

*

Ada sekotas paket roti dati Pak Ikin. Katanya ini selamatan atas diterimanya putrinya di kampus negeri. Alhamdulillah.

“Masuk di mana, Pak?”
“Di Kampus Islam, pak”

“Syukurlah. Selamat ya …”
“Tapi anakku maunya kuliah di kampus negeri lain. Bukan yang ini”

WADUH.

“Ya dituruti saja apa maunya anak to pak”
“Mahal, pak kalau di kampus negeri itu”

HAH.

“Pak … jangan pernah bilang ke anak kalau sampean berat  menyekolahkan dia. Itu menyakitkan pak”

“Memang mahal pak”

“Semahal apa? Sampean duitnya banyak, bisnisnya mengalir, masak mengeluh buat nyekolahin anak? Plis, jangan. Kalau mu tahu, bapakku itu cuma tamtama, ibuku tidak bekerja. Tapi 4 anaknya kuliah semua, pak. Nggak tahu duit darimana, yang jelas semua tamat dan tidak pernah ada satu keluhanpun dari bapakku tentang mahalnya sekolah kami”

“Hmm …”

“Sampeyan nggak mau kan, anak sampeyan mutung sekolah. Atau nggak mau meneruskan sekolahnya lagi. Buat apa harta sampeyan, pak? Kalau nggak buat anak. Itu inventasimu, pak”

Pak Ikin nyengir.

Dan aku tetiba mengingat betapa bapak dan ibuku adalah seorang pejuang tangguh. Di tengah-2 keterbtasan sumber ekonomi, mereka masih bersemangat untuk meneruskan sekolah anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.

**

Sang boss memanggilku.
Aku menghadap ke dalam ruangannya.

“Gimana kondisinya, pak?”
“Alhamdulillah, baik”

“Maaf saya belum sempat menjenguk”
“Tidak apa, bapak. Mohon doanya saja”

“Tapi hape jangan dimatikan. Kan saya nggak bisa koordinasi”
“Iya. Maaf, jari saya kesemutan kalau pegang hape. Kayak disengat listrik,” kataku beralasan.

“Wah. kalau gitu latihan nyentuh listrik aja …” katanya bercanda.

Aku nyengir kuda.
Sungguh candaan yang tidak lucu.
Basi.
Garing.

“Mohon maaf, kami kembali ke ruangan”
“Get well soon, pak”
“Makasih”

Roaaaarrrrrrr.

Entah kenapa aku tak bisa marah sama bapak satu ini. Padahal sebenarnya aku jengkel sekali padanya. Bisa jadi karena aku menyadari bahwa aku ini hanya seorang bawahan, yang tugasnya menyokong kegiatan bapak buah.

SHIT!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar