Pagi
ini pertama kali aku masuk kerja setelah ‘cuti’ sakit selama seminggu kemarin. Di kantor sudah ada Pak Mul
yang sedang mengetik laporan lyn. Dia segera berdiri dan menyapaku,”Hai, mas.
Sudah sehat?”
Hah,
basa-basi yang menyebalkan. “Baik. Alhamdulillah,” balasku sambil menjabat
tangannya.
Lalu
ada Mas Rahmad yang juga mengucapkan selamat kepadaku. Lalu Pak Muji dan Pak
Ikin. Aku sedikit tersanjung dengan sambutan mereka. Tapi entah kenapa, aku
mencium bau julid di sini. Mereka tak benar-benar tulus.
Ya
Tuhan, aku tersiksa dengan rasa ini. Tak
seharusnya aku berpikir terlalu sensitif seperti ini. Mereka tak bisa datang
menjengukku ke rumah karena sibuk. Itu saja alasan yang bisa dimengerti.
Mbak
Tutik datang ke kantor dan menyalamiku,”Gimana Om, sudah enakan?”
“Alhamdulillah,
sudah mbak,” balasku. Buaku pribadi,
mbak Tutik adalah teman yang sangat baik. Dia sempat menjengukku di awal-awal aku sakit kemarin. Hari ini dia
memberiku 2 buah pisang kukus untuk sarapanku.
Lalu
aku menerima telpon dari Mbak Amar. Dia menanyakan kabarku. Aku bilang
baik-baik saja. Sudah enak kondisiku. Lalu dia cerita pengalaman buruknya saat
menjalani perawatan di rumah sakit di Madura.
“Lha
wong aku ini sudah 10 kali diare, kog nggak ditangani sama sekali sama
dokternya. Diinfus kek apa dikasih kamar, gitu …” katanya menggerutu.
Mbak
Amar memang jatuh sakit hampir bersamaan dengan waktu aku sakit kemarin. Tapi
dia cukup 2 hari saja di rawat di rumah sakit di instansiku. Alhamdulillah,
sekarang sudah sembuh.
*
Ada
sekotas paket roti dati Pak Ikin. Katanya ini selamatan atas diterimanya
putrinya di kampus negeri. Alhamdulillah.
“Masuk
di mana, Pak?”
“Di
Kampus Islam, pak”
“Syukurlah.
Selamat ya …”
“Tapi
anakku maunya kuliah di kampus negeri lain. Bukan yang ini”
WADUH.
“Ya
dituruti saja apa maunya anak to pak”
“Mahal,
pak kalau di kampus negeri itu”
HAH.
“Pak
… jangan pernah bilang ke anak kalau sampean berat menyekolahkan dia. Itu menyakitkan pak”
“Memang
mahal pak”
“Semahal
apa? Sampean duitnya banyak, bisnisnya mengalir, masak mengeluh buat nyekolahin
anak? Plis, jangan. Kalau mu tahu, bapakku itu cuma tamtama, ibuku tidak
bekerja. Tapi 4 anaknya kuliah semua, pak. Nggak tahu duit darimana, yang jelas
semua tamat dan tidak pernah ada satu keluhanpun dari bapakku tentang mahalnya
sekolah kami”
“Hmm
…”
“Sampeyan
nggak mau kan, anak sampeyan mutung sekolah. Atau nggak mau meneruskan
sekolahnya lagi. Buat apa harta sampeyan, pak? Kalau nggak buat anak. Itu
inventasimu, pak”
Pak
Ikin nyengir.
Dan
aku tetiba mengingat betapa bapak dan ibuku adalah seorang pejuang tangguh. Di
tengah-2 keterbtasan sumber ekonomi, mereka masih bersemangat untuk meneruskan
sekolah anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.
**
Sang
boss memanggilku.
Aku
menghadap ke dalam ruangannya.
“Gimana
kondisinya, pak?”
“Alhamdulillah,
baik”
“Maaf
saya belum sempat menjenguk”
“Tidak
apa, bapak. Mohon doanya saja”
“Tapi
hape jangan dimatikan. Kan saya nggak bisa koordinasi”
“Iya.
Maaf, jari saya kesemutan kalau pegang hape. Kayak disengat listrik,” kataku
beralasan.
“Wah.
kalau gitu latihan nyentuh listrik aja …” katanya bercanda.
Aku
nyengir kuda.
Sungguh
candaan yang tidak lucu.
Basi.
Garing.
“Mohon
maaf, kami kembali ke ruangan”
“Get
well soon, pak”
“Makasih”
Roaaaarrrrrrr.
Entah
kenapa aku tak bisa marah sama bapak satu ini. Padahal sebenarnya aku jengkel
sekali padanya. Bisa jadi karena aku menyadari bahwa aku ini hanya seorang
bawahan, yang tugasnya menyokong kegiatan bapak buah.
SHIT!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar