Sering
aku heran dengan perilaku orang-orang yang (sudah) punya anak. Kadang mereka
bersikap lebay dengan memerkan kepintaran anaknya. Suka pamer dengan cerita
bahwa anaknya rangking ke inilah ke itulah.
Kuingat
ada beberapa teman kantorku yang begitu.
Buat
orang lain, sah-sah saja sih berperilaku begitu. Tapi tidak buatku. Bukannya
ngiri karena nggak punya anak, tapi soal kepandaian anak, soal kecerdasan
seseorang bukanlah hal yang pantas untuk dibanggakan.
Yang
kuingat, Mbak Eni dan Mas bambang adalah orang yang suka membanggakan
kepintaran anak-anaknya. Aku hanya
mendengarkan saja, sambil turut mengaminkan atas berkah Allah itu.
Tapi
hari ini, aku melihat ada kekecewaan di raut wajah mereka saat aku bertanya,
anak mereka masuk di kampus mana? Unair, ITS atau Unesa?
“Iya,
anakku nggak masuk di kampus negeri?” kata mbak Eni.
“Lho
kan anaknya pinter dan ranking satu terus?”
“Lha
iku ... salah pilih jurusan, mungkin”
Hmm
... julid tingkat tinggi. Padahal setahuku, anaknya tidaklah pintar-pintar
amat. Pintar Ngeyel, iya. Hahaha.
Sekarang, ibunya baru sadar bahwa kepintaran itu tak usahlah
dibangga-banggakan. Kepintaran itu hanya perlu dibuktikan.
Salah
satu pembuktiannya adalah bisa masuk di kampus negeri. Karena apa? karena
saingannya sudah ribuan orang. Jadi bisa
masuk di kampus negeri adalah tolok ukur kepintaran anak.
Mas
Bambang juga begitu. Waktu kutemui, dia
cerita bahwa anaknya masuk di kampus swasta dengan harga yang selangit. Hahaha.
Kenapa kali ini aku tidak mendengar cerita tentang kepandaian anaknya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar